Jumat, 29 Januari 2010

SAHABATKU DAN DONGENGNYA


Aku punya sahabat perempuan. Dia cantik, dari keluarga terhormat di desanya, plus tajir juga. Aku kagum sama dia, sebut ja Nia. Bukan hanya pada wajah, kedudukan sosial dan kekayaan ortunya tapi juga pada sikapnya.

Tidak kebanyakan orang kaya di daerahku yang lumayan sombong, di 180 derajat berbeda. Dulu waktu aku kuliah dan mampir ke rumah dia pasti sepanjang jalan sibuk ngeladenin orang yang menyapa, Pulang mbak, pulang buk dan laen laen. Dia juga dengan ramah menyapa siapa saja, dari tukang becak, penggembala kambing, ato siapapun itu. Nia seolah begitu akrab dengan lingkungannya, hampir tidak ada kesan dia orang kaya.

Intinya aku benar-benar kagum ma dia. Suatu hari saya beranikan diri tuk bertanya tentang dia. Tentang sikapnya. Waktu itu aku masih ingat, aku dan dia sama-sama KKN disebuah desa kecil di lereng Lawu. Kebetulan tempat menginap kami berhadapan jadi deket. Aku menemui dia pada saat selesai makan siang. Karena bisanya setelah makan kami memang ngumpul bersama sebelum sholat dzuhur. Mulai dari pertanyaan standar, sampek pada inti yang ingin aku tanyakan, yakni “kenapa kamu punya sikap kayak gitu.” “Baik hati dan tidak sombong kayak bunga” “ngeledek ya….” Katanya.

Setelah meyakinkan cukup lumayan dia jawab dengan singkat, “dongeng” katanya. Aku semakin penasaran “hanya itu?” “ya” sahutnya cepat. Kemudian aku pengen ngerti gimana dongeng bisa sangat berpengaruh terhadap sikap hidupnya. Dia mulai becerita bahwa dulu ia sering didongenkan oleh ibunya sewaktu kecil, dan ada satu dongeng yang berkesan sampek sekarang.

Aku minta dengan sangat kepada dia untuk menceritakan kembali dongeng andalannya itu. Ceritanya begini..

Di sebuah desa terjadi sebuah prahara, yakni ada Raksasa yang selalu meminta tumbal untul dimakan ketika bulan purnama. Tumbal ini haruslah anak gadis. Raksasa akan mengamuk dan membunuh siapapun ketika permintaannya tidak dikabulkan.

Hingga pada suatu hari seluruh penduduk desa dicekam ketakutan. Anak gadis yang dipersiapkan untuk tumbal meninggal terlebih dahulu, yakni pada sore hari sebelum purnama datang. Seluruh penduduk mulai resah mendengar kabar kematian anak calon tumbal tersebut. Semua berlari mencari tempat perlidungan, karena semua berfikir jalan terbaik adalah berlindung.

Suasana desa benar-benar hening, semua ditempat persembunyian masing. Seolah menahan nafas dan menunggu marahnya sang raksasa. Tetapi tunggu ada yang aneh, ternyata tidak semua sembunyi ada satu anak yang disiasiakan oleh keluarganya karena cacat fisik belum sembunyi. Anak tersebut cebol. Dia merasa tidak ada yang peduli, dia pun tidak peduli dengan lingkungannya di malah makan mangga dengan pisau ditangan di depan rumahnya.

Dan yang paling tidak diharapkan oleh penduduk tiba, raksasa datang. Dengan muka merah padam dia mencari dimana tumbal yang telah dijanjikan. Tempat pemujaan yang biasanya juga tidak ada. Akhirnya dia mengamuk, tapi dia heran juga. “Tunggu” gumamnya. “Ini ada orang kecil yang tidak takut padaku”. Dia makin marah melihat ada yang tidak takut, “Hey cebol, kenapa kau disini mana tumbalku” katanya marah. Anak cebol tersebut tetap asyik dengan mangganya. Habis sudah kesabaran raksasa melihat itu, dia makan anak cebol tersebut.

Raksasa terus mengamuk, menendang sana menendang sini. Tapi Ups raksasa terjatuh, ternyata menjatuhkan diri. Dia memegangi perutnya sambil berguling-guling. Penduduk desa yang melihat ini dari tempat persembunyian mulai bertanya tanya. “dia lapar” “Bukan, sakit perut” suara lirih saling bersautan penasaran. “Eh dia diam!” teriak salah seorang penduduk. Beberapa penduduk sudah mulai memberanikan diri melihat raksasa tersebut, meskipun agak takut akhirnya banyak penduduk yang ikut keluar. Rasa penasaran mengalahkan rasa takut mereka. Semakin dekat, dan dekat. Dan akhirnya “Dia mati…..!!!” salah satu dari mereka berteriak. Disambut suka cita oleh penduduk.

“Tunggu perutnya bergerak…” suara yang sama berteriak. Keadaan menjadi tegang kembali, da yang mengira raksasa hidup kembali, dan juga yang mengira raksasa mau melahirkan. Semua kembali bersiaga tapi bedanya mereka hanya mundur beberapa langkah. Gerakan perut raksasan semakin jelas, semakin keras. Seolah ada yang mau keluar. Dan ternyata benar ada tangan kecil yang keluar dari perut besar raksasa. Tangan tersebut memegang pisau kecil. Semua semakin tegang mengunggu apa yang selanjutnya terjadi. “Hey itu si cebol” “O… ya .. Si cebol..” saling berteriak setelah melihat utuh tubuh yang keluar dari perut si raksasa.

Akhirya si cebol diarak mengelilingi kampung dan dianggap pahlawan, karena berkat si cebol ini raksasa tersebut mati.

“hanya itu ceritanya” tanyaku. “Iya” jawab Nia.

Cerita bisa! Benar, menurutku juga gitu, apanya yang hebat dari dongeng yang mengada ada ini.

Kelihatan tidak puas Nia melanjutkan ceritanya. “Mungkin ini bukan cerita hebat, tapi ibuku selalu berpesan, jangan menilai orang dari bentuk fisik. Bisa jadi dia bisa berbuat lebih baik dari pada kamu” Kata Nia.

***

Bisa banyak hikmah yang bisa diambil dari cerita di atas. Banyak juga pengalaman yang bisa dijadikan guru. Karena katanya guru terbaik adalah pengalaman. Tetapi tidak semua seperti itu, kita bisa melakukan banyak hal, pengalaman yang luar biasa tapi tetap tidak merubah apa apa.

Nia melihat dongeng bukan hanya jadi dongeng. Orang lain juga bisa mendengarkan cerita yang sama tetapi sikapnya tetap sombong. Maka benar kata Pak Parlin (Parlindungan Marpaung) “Pengalaman bukan pengalaman itu sendiri melainkan seberapa kita mampu mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut.”

Semoga kita cukup bijak dengan mengambil pelajaran hidup dari pengalaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar